Dilema Guru: Antara Tuntutan Profesi dan Tanggung Jawab Keluarga

,
Guru adalah profesi yang terhormat. Maju dan mundurnya bangsa ini sebagian disandarkan kepada guru. Undang-undang Sisdiknas no. 20/2003 menyebut guru sebagai pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Sementara itu Undang-undang guru dan dosen no. 14/2005 menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

HA. Malik Fadjar mantan Mendiknas pernah melontarkan statemen menarik terkait dengan guru. Ia mengatakan: "pada saat ini di dunia pendidikan kita masih kekurangan guru, kalau tenaga pengajar banyak, tetapi tenaga guru masih sangat langka….. ukuran kualitas perguruan tinggi bukan hanya dilihat dari berapa yang bergelar doctor, tetapi berapa banyak guru di dalamnya". Ungkapan ini menarik untuk ditelaah dan dicermati terutama di tengah-tengah krisis yang terjadi di dunia pendidikan nasional kita dan upaya berbenah diri yang dilakukan oleh bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukannya.

Sementara itu Andreas Harefa memuji dan mengagungkan guru sebagai salah satu dari tiga tugas, tanggung jawab dan panggilan kemanusiaan tertinggi. Ia mengatakan bahwa pembelajar adalah kata, pemimpin adalah kalimat dan guru adalah makna. Pembelajar adalah orang yang selalu berusaha untuk mengenali hakikat diri dan segala potensi yang dimilikinya dan berusaha dengan sekuat tenaga, sementara pemimpin adalah orang yang dapat mengaktualisasikan potensi tersebut dengan cara menjadi dirinya sendiri. Sedangkan guru adalah orang yanga dapat memikul tanggung jawab global universal yang menyangkut kepentingan seluruh ummat manusia.


Profesi guru sekarang ini menjadi profesi ”incaran” banyak orang. Hal ini disebabkan karena munculnya Undang-Undang Guru dan Dosen No 14 tahun 2005 yang memposisikan guru sebagai profesi yang terhormat sama dengan profesi-profesi lain yang ada di masyarakat, sehingga harapannya, undang-undang ini mampu mendongkrak kinerja, mutu dan kualitas guru yang tentunya diharapkan dapat mendongkrak pula mutu dan kualitas siswa.


Munculnya undang-undang ini tampaknya tepat seiring dengan stigma ataupun label yang sudah kadung melekat pada guru bahwa guru adalah pahlawan tanpa jasa, penerang dalam gulita, pembuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa, guru adalah makhluk serba bisa, guru; minder tapi terpaksa keminter, dan lain-lain. Mitos dan mistiifikasi profesi guru tersebut berbahaya karena hanya akan membuat guru kehilangan harapan dan pijakan serta tidak tahu lagi bagaimana menatap masa depan. Legenda tersebut hanya akan membuat guru terjebak dalam mitos karya yang memandulkan etos kerja. Di samping itu, mistifikasi tersebut berbahaya karena dapat dimanfaatkan oleh pihak tertentu dengan dalih ideologis demi kepentingan tertentu. 


Mitos dan legenda tersebut menjadi tidak lagi "berbahaya" seiring dengan dikeluarkannya Undang-undang Guru dan Dosen No.14 tahun 2005. sehingga profesi guru sebagaimana profesi yang lainnya, tidak hanya sekedar kerja bakti, tetapi memang benar-benar kerja professional dan penuh tanggung jawab.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah benarkah kinerja guru meningkat seiring dengan meningkatnya kesejahteraan yang diterima oleh guru sebagai konsekuenasi logis dari profesinya..? benarkah guru dapat mencurahkan segenap daya dan upayanya untuk mendidik anak seiring dengan sertifikasi guru yang ia terima ? untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut dibutuhkan analisis apa tugas dan tanggung guru serta problema apa yang sesungguhnya dihadapi oleh guru sekrang ini.

B. Tugas Guru dalam Pendidikan (Islam)
Guru dalam pendidikan Islam, dikenal dengan mu’allim, mudarris, ustadz, murabby, muaddib, mursyid, dan syaikh . Istilah-istilah tersebut memiliki akar kata yang berbeda sehingga berimplikasi pada perbedaan makna. Hal ini memiliki konsekuensi logis yang harus dijalankan oleh seorang guru dalam pendidikan Islam, yaitu terkait dengan tugas, peran, fungsi dan tanggung jawab yang harus dipikul. Meskipun demikian, semua istilah tersebut memiliki konotasi yang sama dalam konteks mengisi atau menempati ruang yang ada dalam pendidikan Islam sesuai dengan porsinya masing-masing.


Kata Mu’allim berasal dari kata ‘allama-yu’allimu-‘ilman wa mu’alliman yang berarti menangkap hakekat sesuatu. Kata mu’allim sebagai subjek atau pelaku memiliki pengertian bahwa sebagai guru seseorang dituntut untuk dapat menjelaskan hekekat sesuatu, baik secara teoritis maupun praktis. Peran guru dalam hal ini adalah mengajarkan hakekat sesuatu (maahiyyah) kepada anak sehingga anak dapat memiliki pemahaman yang utuh dan benar tentang diri dan realitas yang ada. 


Kata Mudarris berasal dari kata darasa - yadrusu- darsan- wa durusan wa dirosatan, yang berarti menghapus, melatih, mempelajari. Berangkat dari pengertian ini, tugas guru adalah mencerdaskan siswa, menghapuskan segala bentuk kebodohan dan kejahilan yang ada, melatih dan mengajarinya dengan berbagai pengetahuan sehingga bakat dan potensi yang dimilikinya dapat dimunculkan dan dikembangkan.
Kata Ustadz dalam term arab biasanya digunakan untuk panggilan seorang professor di perguruan tinggi. Ketika kata itu digunakan untuk memaknai guru terkandung maksud bahwa seorang guru dituntut untuk selalu mengedepankan profesionalisme dalam berbuat dan bekerja. Profesionalisme akan muncul manakala seorang guru memahami dunia yang digelutinya, mengerti tugas dan fungsinya serta memiliki komitmen untuk selalu tekun mengemban tugasnya.


Kata Murabby berasal dari kata rabba-yurabby yang berarti mengasuh, mengelola, memelihara. Kata murabby memiliki akar kata yang sama dengan rabbul alamin, Tuhan Pencipta dan Pemelihara alam semesta. Kata tersebut juga memiliki akar kata yang sama dengan tarbiyah yang biasa digunakan orang untuk memaknai kata pendidikan Islam. Seorang murabby atau guru dalam pendidikan Islam dituntut untuk mampu memelihara, mengasuh dan menyiapkan anak didik untuk dapat secara kreatif mengembangkan potensinya sebagaimana rabb Tuhan Pencipta alam semesta ini memelihara dan mengasuh makhluk ciptaanNya. 


Kata Muaddib memiliki akar kata addaba – yuaddibu. Kata ini memiliki akar kata yang sama dengan adab dan peradaban, Guru sebagai seorang muaddib dituntuk untuk dapat mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan manusia tidak saja aspek jasmaniahnya semata akan tetapi juga aspek rohaniyahnya. Esensi kemanusiaan manusia sesungguhnya ada pada moral dan akhlaknya. Ketika kemanusiaan manusia sudah dapat dikembangkan maka akan menghasilkan sosok beradab dan bermoral (muslim, mu’min dan muhsin) yang dikemudian harinya dapat membangun sebuah peradaban yang maju dan bermoral pula. 


Kata Mursyid, biasanya digunakan dan dikenal dalam term thariqah, salah satu ajaran dalam tasawuf. Posisi seorang mursyid dalam ajaran thariqoh adalah posisi yang sangat penting. Dalam berthoriqoh, seseorang tidak akan sampai kepada tujuan ketika ia tidak di’restui’ oleh seorang mursyid. Seorang guru dalam pendidikan Islam, bertugas dan berfungsi sebagai seseorang yang mampu membimbing dan mengarahkan siswanya terutama pada bimbingan aspek moralitas dan spiritualitas. Sehingga anak tidak saja ‘tajam’ dalam aspek intelektualitasnya semata akan tetapi juga memeliki kepekaan moral dan spiritual.


Muhaimin menyebut dua tugas utama guru yaitu; pertama, tugas kependidikan dan kedua, tugas kemanusiaan. Muhaimin dalam hal ini melihat dan memposisikan guru tidak saja sebagai pendidik dalam lembaga pendidikan formal saja, tetapi ia juga memiliki peran dan posisi penting di masyarakat sebagai figur yang diteladani oleh masyarakat. Dalam perspektif ini dan juga istilah-istilah yang muncul di depan serta tugas yang diemban sebagai konsekuensi istilah yang digunakan, benar bahwa pendidik dalam pendidikan Islam adalah sebagai model.

C. Dilema Guru dan Solusinya


Dalam istilah yang sering kita dengar sehari-hari, istilah guru atau pendidik biasa disebut dengan teacher sebagai transfer of knowledge dan sekaligus transfer of value. Tugas dan tanggung jawab guru sesuai dengan peran strategis yang dimainkan adalah menuntun siswa untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik dan sempurna. 


Terkait dengan tugas dan peran yang harus dimainkan oleh seorang guru atau pendidik menarik untuk disimak; “Teacher are not and should not be identifical personalities: They represent a wide variety of personal and professional characteristic. In spite of this, Anyone who continuous to act as a teachers should be effective with students and should help them learn efficiently…”. 


Dalam upaya memenuhi tuntutan tujuan pendidikan Islam tersebut, profesionalisem seorang guru dan pendidik agama Islam menjadi sebuah keharusan. Profesionalisme hanya akan terwujud manakala memang seorang guru mumpuni dibidangnya. Profesionalisme tidak saja terkait dengan aspek intelektualitas semata akan tetapi juga aspek moralitas dan spiritualitas, sehingga sosok guru yang profesional adalah manakala ia dapat memainkan peran keilmuaannya, peran budayanya dan peran spiritualnya. 


Yang munculnya kemudian adalah bagaimana kehidupan pribadi seorang guru. Kehidupan keluarganya. Bagaimana seorang guru yang notebenenya juga manusia biasa. Ia juga punya anak dan istri yang harus dinafkahinya. Ia juga punya keluarga yang memerlukan perhatian dan bimbingannya. Sementara pada sisi lain, tugas dan tanggung jawab profesi mengharuskan guru mengajar 22 JPL per minggu. Atau tuntutan profesional seorang guru adalah mencurahkan segenap daya dan upayanya untuk keberhasilan anak didiknya. Bagaimana menyikapi hal ini..?


Dalam hal ini guru memang seakan berada pada dua persimpangan. Tidak mungkin seorang guru memilih satu dan meninggalkan yang lain. Apalagi meninggalkan keduanya. Namun kemudian muncul pertanyaan, mungkinkah seorang guru sukses di keduanya. Sukses mendidik peserta didik di sekolah, tetapi juga sukses membimbing keluarganya.


Dalam kaitannya dengan profesi guru, undang-undang tentang guru dan dosen no. 14/2005 memberikan jawaban terhadap problema guru tersebut. Karena profesi guru yang ditunjukkan dengan sertifikat profesi berimplikasi terahadap gaji yang diterimanya. Hal ini diharapkan seorang guru tidak lagi terbayang-bayangi oleh keadaan keluarganya yang memang harus dinafkahinya juga, sehingga guru benar-benar mencurahkan segenap upayanya pada pendidikan anak di sekolah tetapi juga tetap dapat membiayai keluarganya, tanpa harus mencari ”samben” di luar jam sekolah.


Namun tentunya ini adalah solusi perspektif undang-undang. Pada kenyataannya apakah profesionalitas dan kinerja guru meningkat seiring dengan peningkatan kesejahteraan yang diterimanya. Fakta membuktikan bahwa kecukupan materi belum menjadi jaminan baiknya kinerja mengajar guru, sehingga memang dibutuhkan upaya lain untuk mengatasi hal tersebut.


Dalam hal ini, saya melihat bahwa harus ada upaya untuk meluruskan posisi, peran dan kedudukan guru. Bahwa guru tidak hanya sekedar transfer of knowledge, tetapi ia juga transfer of value. Guru tidak hanya sekedar teaching, tetapi ia juga sebagai model. Dalam hal ini dibutuhkan ruh, atau jiwa guru. Barangkali ruh dan jiwa inilah yang tidak dapat diperoleh dibangku perkuliahan dan hanya dapat dibentuk melalui pendidikan yang baik.

Profesionalitas pada diri guru merupakan amanat undang-undang yang harus dijunjung tinggi. Tetapi profesionalisme masih saja menemukan blunder ketika profesi guru dihadapkan pada kondisi makro guru sebagai pendidik dan sekaligus sebagai kepala rumah tangga. Sementara pada sisi lain perbaikan kesejahteraan guru sebagai konsekuensi dari profesionalismenya tidak selalu diikuti dengan kinerja mengajar yang baik, sehingga yang terjadi adalah kecemburuan di antara guru karena perbedaan kesejahteraan sementara tidak ada perbedaan kinerja mengajar.


Pendidikan Islam memberikan solusi dengna menempatkan guru sebagai sosok yang menjadi model. Sosok yang digugu dan ditiru. Digugu karena ucapannya dan ditiru karena perbuatan baiknya. Guru menurut pendidikan Islam adalah guru dan bukan hanya sekedar teacher. Guru adalah sosok yang memiliki ruh dan jiwa seorang pendidik, sebagaimana Allah adalah rabbul alamin. 


Dengan memposisikan guru sebagai model dan upaya perbaikan guru dari sisi profesioanlitasnya diharapkan diharapkan guru dapat memberikan sentuhan-sentuhan luhur yang mampu menyentuh nurani anak, sehingga perubahan pada diri anak terjadi tidak saja aspek intelektualitasnya saja tetapi juga moralitas dan spritualitasnya. Amien, semoga...

0 komentar:

Posting Komentar