BEBERAPA MOTIVASI ORIENTALIS: KAJIAN SUBYEKTIVITAS

,
Meskipun semua tendensi yang ada berseberangan dengan tradisi keislaman, para ilmuwan Barat tetap berusaha meyakinkan bahwa mereka sedang memberi pelayanan terhadap kaum Muslimin dengan menyajikan kajian murni, tidak setengah-setengah, dan berlaku jujur. Implikasinya adalah, seorang ilmuwan Muslim yang, katanya, dikelabui oleh keimanan tidak dapat memahami mana yang salah dan yang benar ketika menganalisis keyakinan mereka.

Jika ini betul, sekurang-kurangnya kita mesti bersedia meneliti Orientalisme dan kaitannya dengan kepercayaan-kepercayaan dan prinsip yang dianut, karena mengatakan satu kelompok bersikap memihak tidak semestinya dapat menjamin bahwa kelompok lain lebih objektif. Meneliti akar Orientalisme menghendaki studi yang mendalam tentang masalah-masalah politik, dulu dan hari ini, guna menyingkap beberapa pandangan yang melingkari motivasi mereka, sehingga para pembaca dapat mengukur kajian Barat terhadap Al-Qur'an sebagaimana mestinya.

Pembahasan

1. Menggunakan Analogi Yahudi

Sebelum membicarakan Orientalisme, saya ingin mengangkat satu pertanyaan dengan menggunakan analogi: dalam pandangan Yahudi, dapatkah seorang ilmuwan yang anti Semitisme dikatakan tidak memihak ketika mengkaji dokumen mereka seperti Perjanjian Lama atau Gulungan Kertas Laut Mati (Dead Sea Scrolls)? Apa pun keputusan yang diberikan baik positif mau pun negatif, hendaknya juga diterapkan pada kalangan Orientalis yang seharusnya berlaku jujur saat melakukan pembedahan terhadap ajaran Islam.

i. Validitas Sebuah Karya Anti-Semit

Friedrich Delitzsch, seorang ilmuan Kristen dan salah seorang pendiri Assyriology, berasal dari kalangan tradisi keilmuan Perjanjian Lama yang hebat, di mana ia sendiri sedikit berbau darah Yahudi. Namun demikian, pandangannya terhadap Perjanjian Lama betul-betul sinis:

Perjanjian Lama penuh dengan berbagai penipuan: benar-benar amburadul serta mengelirukan, tidak diterima oleh akal sehat, figur-figur tokoh yang tak dapat dipercaya, termasuk kronologi biblical; benar-benar merupakan demonstrasi kepalsuan yang serbasimpang siur, kerja ulang yang meng¬gelikan, revisi dan transposisi, campuran anakronisme, penjelasan yang saling kontradiktif dan cerita berjubel yang tiada akhir, penemuan¬penemuan tanpa bukti sejarah, legenda dan dongeng rakyat, yang secara singkat merupakan sebuah buku penuh kebohongan baik disengaja maupun tidak, sebagian adalah penipuan sendiri, buku yang sangat berbahaya, dan siapa yang membaca harus siaga dengan sikap ekstrahati-hati.3
Walaupun dikecam sebagai anti Semit, Delitzsch tetap berulang kali menolaknya.

Tetapi melihat beberapa ulasannya (contohnya, ...yang mana ia menyebut orang Yahudi sebagai bahaya yang mengerikan di mana orang-orang Jerman perlu diberi peringatan'), tudingan [sebagai anti Semit] itu tampaknya cukup beralasan.

Di antara karya Delitzsch mengenai Perjanjian Lama, Die Grosse Tauschung, John Bright menyimpulkan,

Amat jarang Perjanjian Lama dituding sebagai penyalahgunaan yang lebih dahsyat dari buku ini. Benar-benar merupakan buku yang sangat jelek (saya harus katakan sebagai `buku yang menderita sakit').

Menunjukkan sikap memusuhi secara terang-terangan terhadap Perjanjian Lama dan hasrat yang kuat ingin memutus hubungan dengan agamaKristen, Delitzsch telah menulis dengan nada sinis yang merendahkan buku dan popularitas namanya semakin dipertunyakan karena sikap antipati terhadap Semitisme

ii. Dapatkah Ilmuwan yang Anti-Yahudi Tidak Memihak Ketika Berhubungan dengan satu Tema tentang Keyahudian?

John Strugnell, seorang guru besar dari Universitas Harvard, menduduki jabatan sebagai pemimpin redaksi resmi team editorial Dead Sea Scroll pada tahun 1987, yang akhirnya dipecat yang dipublikasikan secara luas tiga tahun kemudian. Masalahnya bermula dengan wawancara yang dilakukan oleh seorang wartawan Israel Avi Katzman (seperti dimuat dalam harian Ha'aretz, 9 November 1990), di mana karena menderita depresi mental, ia mengungkapkan perasaan anti Yahudi. Di antaranya adalah agama Yahudi sebagai "agama yang mengerikan", yang menyatakan bahwa masalah agama Yahudi dapat di¬se]esaikan dengan baik melalui masuknya orang-orang Yahudi dalam agama Kristen secara massal, dan juga pernyataan bahwa agama Yahudi pada dasarnya bersifat rasialis. Walaupun ia katakan pada awal wawancara tidak berniat supaya dikatakan anti Semit, Katzman tidak peduli akan permintaan mereka, dan bahkan mengkritik dengan istilah yang vulgar.

Dalam hal ini Strugnell curiga bahwa, Di belakang Mr. Katzman [ada satu kebimbangan] apakah keilmuan Kristen dapat melakukan penelitian secara memihak dengan sistem scroll, karena bahan itu merupakan dokumen milik sekte Yahudi. Saya merasa geli saat mendengar orang seperti Schiffman [dari Universitas New York] mengatakan, 'amat disayangkan tidak ada ilmuwan Yahudi yang sedang me lakukan kajian teks-teks tersebut'. 

Gara-gara tulisannya, ia kemudian dipecat. Beberapa tahun kemudian terus menghujat penolakannya sebagai anti-Semit, tetapi sebaliknya bersikeras menyatakan anti-Yahudi: seseorang bukannya antagonistik terhadap orang Yahudi secara individu atau masyarakat, melainkan hanya terhadap agama Yahudi.

Tetapi saya tidak begitu peduli apakah saya benci atau tidak terhadap agama Yahudi. Saya menginginkan sesuatu yang lebih buat agama Kristen. Saya ingin kekuasaan Kristus lebih besar, memiliki lebih dari 20 juta orang-orang Yahudi sebagai pengikutnya. 

Dalam mempertahankan kepercayaan aguma Kristen, Prof. Strugnell semestinya memahami akan pentingnya teologis Dead Sea Scroll, kalau tidak, memperoleh jabatan pemimpin redaksi hanyalah laksana seorang yang mengigau di siang hari. Pemecatannya bukan lantaran ketidakrnampuan, bukan juga karena tidak percaya atau penghinaan terhadap manuskrip yang di bawah pengawasannya. Sebagaimana yang ia nyatakan, hal itu bersumber dari ketakutan orang Yahudi mengenai subjektivitasnya dalam meneliti dokurnen agamanya disebabkan, antara lain, kecintaannya pada Kristus. Persaingan agama ini memberi alasan yang cukup untuk melarangnya terlepas dari kemampuan akademis yang dimiliki.

iii. Apakah Para Ilmuwan Yahudi Bebas Mengkaji Topik-Topik Keyahudian?

Kita telah menunjukkan dua permasalahan di mana tuduhan anti Semit menyebabkan larangan para ilmuwan hebat melakukan kajian terhadap tema¬tema yang berkaitan dengan agama Yahudi. Namun, bagaimana nasib para ilmuwan Yahudi yang hebat-hebat, apakah semestinya mereka juga dianggap layak mengkaji bahan-bahan yang sensitif?

Dead See Scroll (Gulungan Kertas Laut Mati) ditemukan pada awal tahun 1947. Kendati tim redaksi telah menyelesaikan satu transkripsi keseluruhan teks pada akhir tahun 1950an (termasuk seluruh indeks), la tetap menjadi rahasia, bukan saja mengenai transkrip, tetapi mengenai keberadaan teks itu sendiri. Dengan mengambil waktu yang cukup lama, tim telah menghabiskan waktu selama empat puluh tahun dan hanya mampu menerbitkan dua puluh persen dari keseluruhan teks yang ditugaskan. Hershel Shanks, pemimpin redaksi Biblical Archeology Review, memojokkan direktur bidang barang¬barang antik Israel (Antiquities Department), selama lebih dari dua puluh lima tahun dalam mencari indeks, di mana la mengakui ketidaktahuannya tentang masalah tersebut. Sementara kalangan akademik mendesak ingin mendapat edisi faksimile dari teks yang belum diterbitkan, yang hanya memperoleh respons yang kurang bersahabat dari para anggota redaksi skrol, guna mem¬pertahankan pengawasan sepenuhnya terhadap semua penemuan.

Karena kritikan yang begitu santer, Jenderal Amir Drori, kepala bidang urusan barang antik Israel, terpaksa mengeluarkan pernyataan press pada Septemher 1991, berjanji akan lebih memheri kebebasan untuk mendapatkan foto-foto Skrol tersebut.

Jendral Drori mengumumkan hahwa menjadikan teks itu tersedia untuk semua kalangan, berarti membuat kemungkinan 'penafsiran yang pasti' (delinitive interpretation) dalam keadaan yang berbahaya... Adalah penting untuk memikirkan ulang kerja keras kelompok kecil itu guna menjaga rahasia teks yang belum diterbitkan. Kerja-kerja itu memang disertai penghinaan yang begitu nyata bagi setiap yang berani mempertanyakan kebijaksanaan kelompok kecil tersebut.

Eugene Ulrich dari Notre Dame, di antara tim redaksi senior, memprotes bahwa, "pengeditan skrol sebenarnya telantar bukan lantaran lamban, melainkan karena ketergesa-gesaan yang tak menentu". 12 Rata-rata para guru besar universitas tidak memiliki kemampuan menilai kerja tim tersebut, sambil memekik tentang perasaan team yang diulang-ulang di mana hanya para redaktur resmi, dan murid-murid mereka, yang layak melakukan tugas tersebut.

"Dalam sebuah wawancara di Scientific American, [pemimpin redaksi] menyatakan bahwa Geza Vermes dari Oxford tidak `layak' untuk meneliti scroll yang belum diterbitkan karena Vermes tidak pernah melakukan kerja yang sungguh-sungguh. Vennes adalah pengarang beberapa buah buku yang bermutu mengenai Dead See Scroll, termasuk buku yang telah digunakan secara meluas terbitan Penguin, The Dead See Scrolls in English, yang sekarang sudah masuk edisi ketiga. Pewawancara Scientific American itu sambil tercengang mengatakan: `Maha guru dari Oxford ternyata tidak becus?' Apalagi kita.

Sikap ragu-ragu memang mendapat tempat yang baik, karena masalah yang sebenarnya bukan masalah kemampuan, melainkan hasrat mematuhi garis aturan 'penafsiran yang definitif'. Dengan mengikuti skema ini sejak awal, dan dengan teguh memelihara scroll dari akademi secara umum, maka tim menunjukkan sikap tak berminat atau pengakuan terhadap segala bentuk keilmuan¬ baik Yahudi ataupun lainnya-kecuali yang dapat memenuhi tujuan tertentu. Jadi contoh mana lagi yang lebih jelas mengenai subjektivitas asli ini? 

Tiga perumpamaan di atas, bahkan masih segudang yang lain pasca Perang Eropa dan Amerika, yang menggambarkan pengulangan tema yang menyangkut pemecatan para ilmuwan (saat masih hidup dilakukan secara fisik, dan jika sudah meninggal dilakukan secara akademis) yang kebetulan me¬nunjukkan sikap rivalitas ideologis saat melakukan penelitian terhadap segala permasalahan yang menyangkut agama Yahudi. Apakah para ilmuwan yang bersangkutan dianggap terkenal dan hebat, tidak membawa arti sama sekali; ketidak cocokan ideologi dianggap mencukupi untuk menjatuhkan jati diri mereka. Sejauh mana pemikiran seperti ini dapat diterima di kalangan kaum Muslimin.

Disamping Orientalis sebuah nama atau istilah orang barat tapi juga dapat kita jadikan motivasi hidup. Yang terpenting kita jangan sampai mengikuti alur atau jalan dari pada paham itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar