Seiring dengan berjalannya waktu, umat Islam dihadapkan dengan suatu zaman yang telah mengalami perubahan baik dari segi budaya ( tsaqafah) maupun peradaban ( hadharah). Zaman ini juga disebut sebagai era globalisasi, dimana umat sedang diuji oleh suatu krisis multidimensional yang disebabkan oleh pemikiran modern, pemikiran yang begitu membanggakan kebesaran sains dan teknologi yang kering akan nilai-nilai kerohanian.
Dalam menghadapi problematika tersebut umat Islam perlu menanamkan nilai-nilai spiritual Islam dalam kehidupan sehari-hari dan memperdalam ajaran agama Islam serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara agar umat dapat menghadapi zaman yang carut-marut ini adalah dengan menelaah kembali suri tauladan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat-sahabatnya, karna banyak sekali pelajaran yang dapat kita petik untuk memantapkan sikap kita tentang kehidupan didunia yang fana ini.
Dalam menghadapi problematika tersebut umat Islam perlu menanamkan nilai-nilai spiritual Islam dalam kehidupan sehari-hari dan memperdalam ajaran agama Islam serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara agar umat dapat menghadapi zaman yang carut-marut ini adalah dengan menelaah kembali suri tauladan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat-sahabatnya, karna banyak sekali pelajaran yang dapat kita petik untuk memantapkan sikap kita tentang kehidupan didunia yang fana ini.
Cara diatas merupakan salah satu jalan untuk menuju kepada hakikat kehidupan manusia yaitu mendekatkan diri pada sang Pencipta, dan ini semua terangkum dalam tujuan pendidikan Islam seperti yang dikemukakan Al-Ghazali, ( Tujuan pendidkan Islam yang paling utama adalah beribadah dan bertaqarrub kepada Allah SWT, dan menjadi insan kamil yang berorientasi pada kebahagiaan dunia dan akhirat)[1].
A. Kisah indahnya persaudaraan dari khalifah Umar bin Khattab r.a. :
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab telah membungkus sebuah kantung dengan mengisinya sebanyak 400 dinar dan berkata pada pesuruhnya : “Bawalah uang ini kepada Abu Ubaidah bin Jarrah kemudian berdiamlah kamu dirumahnya sehingga kamu mengetahui apa yang dia lakukan terhadap uang ini.”
Kemudian pesuruh itu berangkat dan menyerahkan uang tersebut kepada Abu Ubaidah dengan berkata: “Amirul Mukminin Umar bin Khattab berkata:”Terimalah uang ini untuk kebutuhan hidupmu.” Dia menjawab :” Semoga Allah selalu memberkati dan merahmatinya.”Kemudian Abu Ubaidilah memanggil seorang pesuruh wanita dan berkata :” Berikanlah lima dinar ini untuk si A, yang tujuh dinar untuk si B, dan yang sepuluh dinar ini untuk si C, serta bagikan sisanya untuk semua orang yang membutuhkan.” sehingga habislah semua uang tersebut dibagi-bagikan.
Setelah itu pesuruh Umar kembali ke Madinah untuk menghadap Umar dan menyampaikan apa yang telah terjadi. Ketika sampai di hadapan Umar, dia juga menemui bahwa Umar juga membungkus uang yang akan diberikan kepada Mu’adz bin Jabal dan memerintahkan kepada pesuruh tersebut seperti apa yang telah dia perintahkan untuk Abu Ubaidah bin Jarrah. Setelah uang itu diserahkan kapada Mu’adz, ia melakukan apa yang telah dilakukan oleh Abu Ubaidah.
Kemudian pesuruh tersebut datang kepada Umar dan melaporkan apa yang dilakukan okeh Mu’adz, lalu Umar berkata :”Mereka itu saling bersaudara sesama mereka, radhiyallahu ‘anhum ( semoga Allah meridhai mereka semua).[2]
B. Keteladanan sifat Umar bin Khattab r a
Dari kisah diatas kita dapat mengambil suri tauladan yang dicontohkan oleh khalifah Umar bin Khattab, selain itu kita juga menemui nilai-nilai pendidikan Islam yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari bukan sekedar teori tapi juga praktek, nilai-nilai itu adalah :
· Memperkuat tali persaudaraan
Manusia sesuai tabiat dan instinknya selalu cenderung untuk berkumpul dengan orang lain, bekerjasama dengan mereka. Ini termasuk bagian yang dianjurkan Islam, karna Islam telah menciptakan hubungan kemasyarakatan yang hangat dan ikatan-ikatan iman yang kuat.[3]
Rasulullah saw bersabda :
"لا يؤمن أحدكم حتى لأخيه كما يحب لنفسه, ويكره له ما يكره لنفسه"
“Tidak seorang pun darimu dikatakan beriman, sebekum ia mencintai sesuatu bagi saudaranya sebagaimana ia mencintai bagi dirinya, dan membenci sesuatu bafi audaranya sebagaimana ia membenci bagi dirinya.”[4] Rasulullah saw juga bersabda:
"مثل المؤمنين فى توادِّهم و وتراحمهم وتعاطفهم مثلُ الجسدِ, إذا اشتكى منهم عضوٌ تداعى له سائر الجسدِ بالسَّهَرِ و الحُمّى"
“Perumpamaan orang beriman dalam cinta, kasih sayang dan simpatinya kepada orang lain adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu lengannya sakit maka seluruh tubuhnya akan merasa sakit dan ia tidak bisa tidur.” (Bukhari Muslim). [5]
Berdasarkan dua hadits diatas, jelaslah sudah bahwa cerita tentang khalifah Umar bin Khattab mengandung nilai persaudaraan yang didasari oleh keikhlasan dan kekuatan iman semata karna Allah SWT.
· Bermurah hati
Islam mengajarkan pemeluknya untuk berbuat kebajikan yang tidak ada putus-putusnya kepada sesamanya, dalam bentuk pengorbanan harta benda, berdema dan bershadaqah kepada siapapun.
Islam ditegakkan dan berkembang bukan atas dasar kikir dan menahan harta benda, oleh karena itu berderma dan bershadaqah adalah perwujudan tanda syukur kepada Allah SWT yang telah member karuniaNya. Allah SWT berfirman;
الذين ينفقون أموالهم بالليل والنهار سِرًّا وَّعلانِيةً فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولاهم يحزنون.[6]
“ Orang-orang yang menafkahkan hartanya dimalam dan disiang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka meareka mendapat pahala disisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Kekayaan hendaknya kita gunakan membantu kepentingan umum, menolong fakir miskin, dan ikut meringankan penderitaan orang-orang yang susah dan tidak mampu, sebagaimana yang di contohkan oleh khalifah Umar bin Khattab pada kisah diatas, maka kita wajib meniru perbuatan beliau beserta para sahabatnya. Bershadaqah, berderma, dan menolong fakir miskin dengan tanpa mencari ketenaran, tapi hanya semata ingin mendapat ridho dari Allah SWT.
· Pandai berterima kasih
Manusia yang baik adalah adalah yang pandai berterima kasih kepada orang lain.[7] Rasulullah saw bersabda :
لايشكرالله من لا يشكرالناس.[8]
“Tidak pernah bersyukur pada Allah orang yang tidak pernah berterima kasih atas kebaikan orang lain.”
Dalam riwayat lain dijelaskan :
مَن صُنِعَ عليه معروفٌ فقل لفاعله جزاك الله خيراً فقد أبلغ الثناءَ.[9]
“Siapa saja yang mendapat kebaikan, katakanlah kepada yang berbuat baik itu ; semoga Allah memberi kebaikan pula kepadamu. Silap ini berarti pula menyampaikan pujian kepada Allah SWT.”
Jelaslah sudah bahwa sikap berterima kasih kepada orang yang menolong kita adalah sangat dianjurkan sekali sebagaimana maksud hadits diatas, sifat ini pula yang dicontohkan oleh sahabat-sahabat khalifah Umar bin Khattab ketika menerima sedekah dari beliau, langsung dibagi-bagikan lagi kepada orang yang kurang mampu tanpa mengambil sepeserpun dari uang itu.
· Kejujuran
Seseorang akan senantiasa besikap jujur dengan semua orang, karna petu njuk Islam telah mengajarkan kepadanya bahwa jujur merupakan kepala dan pokok seluruh perbuatan baik dan puncak akhlak mulia. Disisi lain, Islam memberitahukan bahwa dusta dan perbuatan keji akan membawa pelakunya ke neraka[10], seperti yang dijelaskan Rasulullah saw dalam haditsnya berikut ini :
“Sesungguhnya kejujuran itu akan membawa pada kebaikan, sedang kebaikan itu akan membawa ke surga. Dan seseorang laki-laki yang berbuat jujur akan ditulis disisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu akan mengantarkan ke neraka. Seseorang laki-laki yang berbuat dusta akan ditulis disisi Allah sebag ai pendusta.” [11]
Sikap jujur ini telah dicontohkan oleh pembantu khalifah Umar bin Khattab ra, ia telah mengantarkan sejumlah uang kepada sahabat khalifah dengan tanpa mengurangi sedikitpun jumlahnya. Sifat inilah yang wajib kita tiru pada era globalisasi sekarang ini, dimana nilai kejujuran pada seseorang bagaikan fatamorgana yang menipu mata. Sebuah tanggung jawab yang diamanahkan kepada para pemimpin telah banyak disalahgunakan untuk kepentingan individual. Dan muslim sejati harus terus mengasah kejujuran pada dirinya agar mendapat keridhoan dari Allah SWT sang Pencipta hakiki.
Dalam kisah diatas banyak sekali pelajaran yang dapat kita petik, sifat-sifat yang banyak terlupakan oleh manusia pada zaman modern ini banyak kita jumpai dalam kehidupan para pemimpin kita dahulu, diantaranya adalah sepotong kisah tentang khalifah Umar bin Khattab yang mendermakan hartanya kepada orang yang lebih membutuhkannya. Nilai-nilai keikhlasan, mencintai saudara seiman, murah hati, bersyukur, dan kejujuran dapat kita pelajari dan renungkan kembali sebagai muhasabah diri kita agar lebih baik, sekaligus untuk mengukur eksistensi seorang muslim di zaman modern yang carut marut ini.
Semua sifat diatas sesuai dengan tujuan tarbiyah islamiyah yaitu terwujudnya kepribadian muslim, kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya merealisasikan atau mencerminkan ajaran islam.[12] Dengan ini maka kita sebagai umat muslim di era modern ini yang disadari atau tidak nilai-nilai keislaman kita sudah banyak luntur oleh laju perkembangan zaman, dan kewajiban kita adalah harus banyak melakukan muhasabah dan instropeksi diri agar tetap pada jalan yang lurus sesuai Al-Qur’an dan sunah nabawiyah.
Membaca sejarah islam dan meneladani para pemimpin kita terdahulu juga bisa membangkitkan semangat kita agar berbuat lebih baik sesuai dengan tuntunan islami, seperti kisah khalifah Umar bin Khattab diatas, banyak sekali nilai-nilai yang harus kita renungkan kembali dan kita implementasikan kepada kehidupan sehari-hari agar tercipta kehidupan yang harmoni.
REFERENSI
Ali Hayimi, Muhammad, Dr., Jati Diri Muslim, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1999.
Al-Juzairi, Syaikh Abu Bakar, Mengenal Akhlak dan Etika Islam, Penerbit Lentera, Jakarta, 2003.
Asy Syahlawi, Majdi Muhammad, Mempertajam kepekaan Spritual 277 Kisah Para Shalihin, Bina Wawasan Press, Jakarta, 2003.
Ihsan, Hamdani, Drs., H., Filsafat Pendidikan Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 1998.
Khair Khatimah, Muhammad, Dr., Etika Muslim Sehari-hari, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002.
Ramayulis, Prof., Dr., Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 1998.
Salam, Abdullah, KH., Akhlaq Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, Media Dakwah, Jakarta, 1986.
[2]. Majdi Muhammad Asy Syahlawi, Mempertajam kepekaan Spritual 277 Kisah Para Shalihin, Bina
Wawasan Press, Jakarta, 2003. Hal. 182.
[3] Dr. Muhammad Khair Khatimah, Etika Muslim Sehari-hari, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002,
Hal. 265.
[4] HR Bukhari Muslim.
[5] Syaikh Abu Bakar Al-Juzairi, Mengenal Akhlak dan Etika Islam, Penerbit Lentera, Jakarta< 2003,
Hal. 99.
[6] Surat Al-Baqarah, ayat 274.
[7] KH. Abdullah Salam, Akhlaq Islam Membina Rumah Tangga dan Masyarakat, Media Dakwah,
Jakarta, 1986, Hal. 156-157.
8 HR Abu Dawud dan Ahmad
[9] HR At-Tirmidzi
[10] Dr. Muhammad Ali Hayimi, Jati Diri Muslim, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1999, Hal. 168.
[11] HR Muttafaqun ‘alaihi
[12] Drs. H. Hamdani Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 1998, Hal. 69.
0 komentar:
Posting Komentar