Islam adalah agama yang sempurna. Firman Allah SWT :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ إِسْلاَمَ دِيْنَ
Maka dari itu Allah menempatkan agama islam sebagai agama tertinggi dan diterima di sisi-Nya. Tapi, kenyataannya dapat kita lihat sekarang, islam disia-siakan dan bahkan banyak sekali penyelewengan aqidah dan pemikiran. Banyak umat islam, tapi yang ada hanya nama saja. Banyak yang mengaku umat islam tapi dalam kegiatannya menggerogoti agama islam dari dalam. Apalagi didukung adanya penyimpangan pemikiran dari sekulerisasi dan penjerumusan kekafiran.
Tiba gilirannya, kita harus memikirkan, bagaimana membentengi ummat dari penyimpangan pemikiran, dari sekulerisasi dan penjerumusan ke arah kekafiran yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam secara beramai-ramai, walau mereka ada yang mengaku dirinya Muslim.
Ibarat satu kampung, keadaannya sudah ditenggelamkan dalam air seperti kampung-kampung di sekitar Waduk Kedung Ombo di Sragen-Boyolali Jawa Tengah di saat ada pemaksaan dari pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun (1966-1997) pimpinan Soeharto tempo hari. Hanya saja penenggelaman dalam pembahasan ini adalah dari segi sistem hukum, sistem pendidikan, dan kebijakan-kebijakan yang menyingkirkan Islam. Maka yang masih tersisa tinggallah yang diselamatkan oleh Allah SWT.
Setelah tenggelam dalam pola pikir yang sekuler, yang tak Islami, lalu harus dibentengi dengan cara bagaimana? Secara teori, kita harus menyingkirkan segala pemikiran yang tak sesuai dengan Islam. Ibarat air yang telah menggenangi, maka harus ditawu, dipompa untuk dibuang, dan dikuras. Jadi pola pikir sekuler itu harus dikikis, bahkan diperangi agar terkikis habis. Setelah itu diisi dengan pola pikir yang Islami.
Caranya?
Secara teori, sistem hukum dan sistem pendidikan harus dikembalikan ke Islam.
Caranya?
Para pemegang kekuasaan bidang hukum dan pendidikan terdiri dari orang-orang yang berpola pikir Islami. Tetapi itu hanya bisa ditempuh bila pemegang kendali kekuasaan adalah orang-orang yang berpola pikir Islami.
Untuk mencapai itu, mesti diadakan pendidikan yang intensip, yang secara herargis mencapai tingkatan sampai tinggi dan tetap punya komitmen yang tinggi terhadap pola pemikiran yang Islami.
Bukankah nantinya tetap kalah dalam bersaing, karena sistemnya tidak memungkinkan untuk merebut pasar kedudukan?
Di balik upaya manusia, dalam menegakkan kebenaran ini ada dukungan Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."
Itu jaminan Allah SWT.
Di balik itu pula, Nabi SAW bersabda :
“Tali-tali Islam pasti akan putus satu tali demi satu tali. Maka setiapkali putus satu tali (lalu) manusia bergantung dengan tali yang berikutnya. Dan tali Islam yang pertama kali putus adalah hukum(nya), sedang yang terakhir (putus) adalah shalat.”
Tali-tali hukum Islam ternyata telah diputus-putus oleh penjajah dan dilanjutkan oleh pemerintah pengganti penjajah, dan para tokoh maupun ilmuwan sekuler, musuh Islam, anti Islam, atau yang alergi Islam. Demikian pula tali-tali sistem pendidikan. Bahkan sistem budaya pula, mereka habisi dari Islam.
Kini hal yang jelas belum diputus adalah shalat (kecuali oleh kelompok sesat yang tak mewajibkan shalat, misalnya kelompok Isa Bugis ataupun Az-Zaitun yang punya sekolahan/ pesantren megah di Indramayu Jawa Barat yang tidak mewajibkan shalat, yang berarti telah menggerogoti Islam sampai batas terakhir), maka kita kembalikan apa yang putus-putus itu dengan membangun kembali shalat kita, dengan berjama'ah ke masjid-masjid dan meningkatkan kekhusyu'an. Dari situ, akan terbina insan-insan Muslim yang tangguh, yang mampu mengendalikan dirinya dari fahsya' (kekejian) dan munkar. Karena Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar".
Terwujudnya masyarakat yang bisa terhindar dari fahsya’ dan munkar itu hanyalah kalau diselenggarakan shalat berjama’ah di setiap kampung dan pemukiman, atau di mana saja Ummat Islam berada. Sebab, tanpa diselenggarakan shalat berjama’ah, maka Nabi saw memastikan masyarakat itu pasti dikuasai oleh syetan. Nabi saw bersabda:
“Tidaklah dari tiga orang di dalam suatu desa dan tidak pula di pedusunan yang tidak didirikan di kalangan mereka itu shalat berjama’ah kecuali terhadap mereka itu syetan menguasainya. Maka wajib atas kalian berjama’ah, maka sesungguhnya serigala itu hanya memakan kambing yang terpencil (dari kawannya).”
Masyarakat Muslim yang aktif melaksanakan shalat berjama’ah insya Allah tidak dikuasai syetan, dan mereka itulah yang insya Allah mampu menghindarkan diri dari perbuatan fakhsya’ dan munkar. Sebaliknya, masyarakat yang tidak menegakkan shalat berjama’ah maka sudah dijelaskan oleh Nabi saw, pasti mereka dikuasai oleh syetan. Itu kalau tingkat kampung atau pedusunan. Lha kalau tingkatnya itu nasional, satu bangsa, yang jumlahnya 200 juta jiwa lebih, dan mayoritas/ kebanyakan mengaku dirinya Muslim, lantas mereka tidak aktif berjama’ah shalat di masjid-masjid dan mushalla, maka mafhum mukhalafah (pengertian tersirat) dari Hadits tersebut adalah: masyarakat itu bisa-bisa dikuasai oleh raja syetan (bukan sekadar syetan desa). Sedang syetan itu menurut Al-Qur’an ada yang dari jenis jin dan ada yang dari jenis manusia.
Masih mending kalau dari jenis jin kafir, apabila dibacakan ayat kursi dan lain-lain maka pasti takut. Tetapi kalau syetan yang dari jenis manusia, walaupun dibacakan surat kursi tetap saja mendenges (tidak mempan), tidak takut. Maka ada perintah jihad memerangi orang kafir, musyrik, murtad, orang sekuler (sebab menurut Syeikh Muhammad Al-Ghazali Mesir, orang sekuler itu hukumnya murtad), dan munafiq; soalnya mereka tidak mempan dengan bacaan-bacaan berupa ayat-ayat yang ditakuti oleh syetan. Jadi harus dilawan dengan jihad.
Masyarakat Islam yang taat berjama’ah shalat itulah yang sanggup berjihad melawan syetan-syetan berupa manusia. Dan dari situlah tercipta masyarakat Islam yang utuh, yakni secara rohani mereka sanggup mencegah diri dari fahsya’ dan munkar, sedang dari segi fisik mereka sanggup berjihad untuk meninggikan kalimah Allah SWT, melawan manusia-manusia kafir, durjana, munafik, musyrik, ataupun murtad.
Dengan tumbuhnya sosok-sosok pribadi muslimin yang mampu mengendalikan diri dari fahsya' dan munkar dan berani berjihad itulah maka mereka akan memiliki bashirah (pandangan hati) yang tajam, yang mampu membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Hanya saja semua itu harus dilandasi ilmu Islam yang memadai, sehingga bashirah yang tajam itu akan dibentengi oleh hujjah yang benar. Itulah pokok jalan keluarnya.
Al-hasil, jalan yang harus ditempuh adalah merestorasi pemahaman ummat dengan menanamkan aqidah shahihah, menegakkan shalat berjama'ah, mendisiplinkan da'wah Islamiyah, dan membentuk serta melaksanakan sistem pendidikan yang sesuai dengan Islam. Bila semua itu ditempuh maka pada masanya akan datang kebenaran ke dalam dada-dada Muslimin dan hancurlah kebathilan, tersingkir dari benak-benak Muslimin. Dari individu-individu Muslim, ke tingkat keluarga, ke tingkat kelompok, dan kemudian insya Allah akan ke tingkat yang lebih luas lagi, sehingga akan meratalah pemahaman yang benar tentang Islam. Kalau toh tidak sampai merata, insya Allah pribadi-pribadi yang terselamatkan itu sendiri berarti telah selamat dari kesesatan.
Semua itu harus dimulai. Ibda’ binafsik. Mulailah dengan dirimu sendiri lebih dulu. Mari.
Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan bashirah yang mampu mendeteksi bahwa yang bathil ataupun menyimpang itu tampak bathil, sehingga kita mampu menghindarinya. Amien.
Kesimpulan
Sebagai umat muslim yang sejati harusnya kita bisa membentengi diri kita dengan memperbanyak amal perbuatan dan juga meningkatkatkan iman dan taqwa. Agar di era yang kesemuanya serba sekuler, maka kita harus bentengi diri kita dari penyimpangan pemikiran, penyelewengan aqidah dengan iman dan taqwa serta kita harus hati-hati dan sadar akan diri kita bahwa sebenarnya kita semua masih banyak kekurangan. Baik dalam beribadah, berakhlak dan berbuat. Dan itu semua tidak mugkin dimulai oleh orang lain melainkan ibda’ binafsika.
Mari kita tingkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT dari penyimpangan pemikiran dan penyelewengan aqidah serta sekulerisasi.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ إِسْلاَمَ دِيْنَ
Maka dari itu Allah menempatkan agama islam sebagai agama tertinggi dan diterima di sisi-Nya. Tapi, kenyataannya dapat kita lihat sekarang, islam disia-siakan dan bahkan banyak sekali penyelewengan aqidah dan pemikiran. Banyak umat islam, tapi yang ada hanya nama saja. Banyak yang mengaku umat islam tapi dalam kegiatannya menggerogoti agama islam dari dalam. Apalagi didukung adanya penyimpangan pemikiran dari sekulerisasi dan penjerumusan kekafiran.
Tiba gilirannya, kita harus memikirkan, bagaimana membentengi ummat dari penyimpangan pemikiran, dari sekulerisasi dan penjerumusan ke arah kekafiran yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam secara beramai-ramai, walau mereka ada yang mengaku dirinya Muslim.
Ibarat satu kampung, keadaannya sudah ditenggelamkan dalam air seperti kampung-kampung di sekitar Waduk Kedung Ombo di Sragen-Boyolali Jawa Tengah di saat ada pemaksaan dari pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun (1966-1997) pimpinan Soeharto tempo hari. Hanya saja penenggelaman dalam pembahasan ini adalah dari segi sistem hukum, sistem pendidikan, dan kebijakan-kebijakan yang menyingkirkan Islam. Maka yang masih tersisa tinggallah yang diselamatkan oleh Allah SWT.
Setelah tenggelam dalam pola pikir yang sekuler, yang tak Islami, lalu harus dibentengi dengan cara bagaimana? Secara teori, kita harus menyingkirkan segala pemikiran yang tak sesuai dengan Islam. Ibarat air yang telah menggenangi, maka harus ditawu, dipompa untuk dibuang, dan dikuras. Jadi pola pikir sekuler itu harus dikikis, bahkan diperangi agar terkikis habis. Setelah itu diisi dengan pola pikir yang Islami.
Caranya?
Secara teori, sistem hukum dan sistem pendidikan harus dikembalikan ke Islam.
Caranya?
Para pemegang kekuasaan bidang hukum dan pendidikan terdiri dari orang-orang yang berpola pikir Islami. Tetapi itu hanya bisa ditempuh bila pemegang kendali kekuasaan adalah orang-orang yang berpola pikir Islami.
Untuk mencapai itu, mesti diadakan pendidikan yang intensip, yang secara herargis mencapai tingkatan sampai tinggi dan tetap punya komitmen yang tinggi terhadap pola pemikiran yang Islami.
Bukankah nantinya tetap kalah dalam bersaing, karena sistemnya tidak memungkinkan untuk merebut pasar kedudukan?
Di balik upaya manusia, dalam menegakkan kebenaran ini ada dukungan Allah SWT:
يأيها الذين أمنوا إن تنصروا الله ينصركم ويثبت أقدامكم.
"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu."
Itu jaminan Allah SWT.
Di balik itu pula, Nabi SAW bersabda :
لينقضن عرا الإسلام عروة عروة فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها وأولهن نقضا الحكم وأخرهن الصلاة.
“Tali-tali Islam pasti akan putus satu tali demi satu tali. Maka setiapkali putus satu tali (lalu) manusia bergantung dengan tali yang berikutnya. Dan tali Islam yang pertama kali putus adalah hukum(nya), sedang yang terakhir (putus) adalah shalat.”
Tali-tali hukum Islam ternyata telah diputus-putus oleh penjajah dan dilanjutkan oleh pemerintah pengganti penjajah, dan para tokoh maupun ilmuwan sekuler, musuh Islam, anti Islam, atau yang alergi Islam. Demikian pula tali-tali sistem pendidikan. Bahkan sistem budaya pula, mereka habisi dari Islam.
Kini hal yang jelas belum diputus adalah shalat (kecuali oleh kelompok sesat yang tak mewajibkan shalat, misalnya kelompok Isa Bugis ataupun Az-Zaitun yang punya sekolahan/ pesantren megah di Indramayu Jawa Barat yang tidak mewajibkan shalat, yang berarti telah menggerogoti Islam sampai batas terakhir), maka kita kembalikan apa yang putus-putus itu dengan membangun kembali shalat kita, dengan berjama'ah ke masjid-masjid dan meningkatkan kekhusyu'an. Dari situ, akan terbina insan-insan Muslim yang tangguh, yang mampu mengendalikan dirinya dari fahsya' (kekejian) dan munkar. Karena Allah SWT berfirman:
إن الصلاة تنهى عن الفحشاء والمنكر.
Terwujudnya masyarakat yang bisa terhindar dari fahsya’ dan munkar itu hanyalah kalau diselenggarakan shalat berjama’ah di setiap kampung dan pemukiman, atau di mana saja Ummat Islam berada. Sebab, tanpa diselenggarakan shalat berjama’ah, maka Nabi saw memastikan masyarakat itu pasti dikuasai oleh syetan. Nabi saw bersabda:
ما من ثلاثة في قرية ولا بدو لا تقام فيهم صلاة الجماعة إلا استحوذ عليهم الشيطان فعليكم بالجماعة، فإنما يأكل الذئب من الغنم القاصية.
“Tidaklah dari tiga orang di dalam suatu desa dan tidak pula di pedusunan yang tidak didirikan di kalangan mereka itu shalat berjama’ah kecuali terhadap mereka itu syetan menguasainya. Maka wajib atas kalian berjama’ah, maka sesungguhnya serigala itu hanya memakan kambing yang terpencil (dari kawannya).”
Masyarakat Muslim yang aktif melaksanakan shalat berjama’ah insya Allah tidak dikuasai syetan, dan mereka itulah yang insya Allah mampu menghindarkan diri dari perbuatan fakhsya’ dan munkar. Sebaliknya, masyarakat yang tidak menegakkan shalat berjama’ah maka sudah dijelaskan oleh Nabi saw, pasti mereka dikuasai oleh syetan. Itu kalau tingkat kampung atau pedusunan. Lha kalau tingkatnya itu nasional, satu bangsa, yang jumlahnya 200 juta jiwa lebih, dan mayoritas/ kebanyakan mengaku dirinya Muslim, lantas mereka tidak aktif berjama’ah shalat di masjid-masjid dan mushalla, maka mafhum mukhalafah (pengertian tersirat) dari Hadits tersebut adalah: masyarakat itu bisa-bisa dikuasai oleh raja syetan (bukan sekadar syetan desa). Sedang syetan itu menurut Al-Qur’an ada yang dari jenis jin dan ada yang dari jenis manusia.
Masih mending kalau dari jenis jin kafir, apabila dibacakan ayat kursi dan lain-lain maka pasti takut. Tetapi kalau syetan yang dari jenis manusia, walaupun dibacakan surat kursi tetap saja mendenges (tidak mempan), tidak takut. Maka ada perintah jihad memerangi orang kafir, musyrik, murtad, orang sekuler (sebab menurut Syeikh Muhammad Al-Ghazali Mesir, orang sekuler itu hukumnya murtad), dan munafiq; soalnya mereka tidak mempan dengan bacaan-bacaan berupa ayat-ayat yang ditakuti oleh syetan. Jadi harus dilawan dengan jihad.
Masyarakat Islam yang taat berjama’ah shalat itulah yang sanggup berjihad melawan syetan-syetan berupa manusia. Dan dari situlah tercipta masyarakat Islam yang utuh, yakni secara rohani mereka sanggup mencegah diri dari fahsya’ dan munkar, sedang dari segi fisik mereka sanggup berjihad untuk meninggikan kalimah Allah SWT, melawan manusia-manusia kafir, durjana, munafik, musyrik, ataupun murtad.
Dengan tumbuhnya sosok-sosok pribadi muslimin yang mampu mengendalikan diri dari fahsya' dan munkar dan berani berjihad itulah maka mereka akan memiliki bashirah (pandangan hati) yang tajam, yang mampu membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Hanya saja semua itu harus dilandasi ilmu Islam yang memadai, sehingga bashirah yang tajam itu akan dibentengi oleh hujjah yang benar. Itulah pokok jalan keluarnya.
Al-hasil, jalan yang harus ditempuh adalah merestorasi pemahaman ummat dengan menanamkan aqidah shahihah, menegakkan shalat berjama'ah, mendisiplinkan da'wah Islamiyah, dan membentuk serta melaksanakan sistem pendidikan yang sesuai dengan Islam. Bila semua itu ditempuh maka pada masanya akan datang kebenaran ke dalam dada-dada Muslimin dan hancurlah kebathilan, tersingkir dari benak-benak Muslimin. Dari individu-individu Muslim, ke tingkat keluarga, ke tingkat kelompok, dan kemudian insya Allah akan ke tingkat yang lebih luas lagi, sehingga akan meratalah pemahaman yang benar tentang Islam. Kalau toh tidak sampai merata, insya Allah pribadi-pribadi yang terselamatkan itu sendiri berarti telah selamat dari kesesatan.
Semua itu harus dimulai. Ibda’ binafsik. Mulailah dengan dirimu sendiri lebih dulu. Mari.
Mudah-mudahan Allah memberikan kekuatan bashirah yang mampu mendeteksi bahwa yang bathil ataupun menyimpang itu tampak bathil, sehingga kita mampu menghindarinya. Amien.
Kesimpulan
Sebagai umat muslim yang sejati harusnya kita bisa membentengi diri kita dengan memperbanyak amal perbuatan dan juga meningkatkatkan iman dan taqwa. Agar di era yang kesemuanya serba sekuler, maka kita harus bentengi diri kita dari penyimpangan pemikiran, penyelewengan aqidah dengan iman dan taqwa serta kita harus hati-hati dan sadar akan diri kita bahwa sebenarnya kita semua masih banyak kekurangan. Baik dalam beribadah, berakhlak dan berbuat. Dan itu semua tidak mugkin dimulai oleh orang lain melainkan ibda’ binafsika.
Mari kita tingkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT dari penyimpangan pemikiran dan penyelewengan aqidah serta sekulerisasi.
0 komentar:
Posting Komentar